Laman

Rabu, 24 Oktober 2012

Not Just Being Rich

Ini merupakan sebagian cerita mengenai pengalaman dalam proses pembuatan skripsi saya kemarin. Saya baru lulus kira-kira 3 bulan yang lalu.. Selain nilai yang saya dapatkan, saya sangat senang dalam proses pembuatannya, karena bisa berdiskusi dengan orang-orang yang bisa membuka pikiran saya tentang wanita.

Saya mengangkat judul soal perempuan yang terlibat kasus korupsi. Media yang saya teliti adalah Media Indonesia sebagai media mainstream dan Femina sebagai media khusus perempuan yang sudah 40 tahun menjadi majalah perempuan Indonesia.

Untuk keperluan skripsi saya harus mewawancarai para pembuat artikel atau berita-berita tersebut. Bapak Gaudensius dari Media Indonesia dan Angela H Wahyuningsih dari Femina. Dan saya benar-benar senang bisa berdiskusi dengan mereka. Bukan saja soal skripsi tapi lebih dari itu, membuka pikiran saya.

Sebenarnya yang lebih mendalam adalah ketika saya mewawancarai Mba Atiek atau Angela H Wahyuningsih. Sebagai redaktur senior di Femina, artikel-artikel yang dia buat bisa dikatakan artikel-artikel berat dan berisi. Kebetulan sekali artikel di Femina mengenai Perempuan yang terlibat dalam korupsi dia yang menulisnya.

Saya bertanya banyak padanya soal wanita, wanita bekerja, dan wanita yang melakukan tindak korupsi. Mba Atik sebagai wanita, tidak begitu saja membela kaumnya, namun menurutnya sebagai wanita kita sudah seharusnya lebih cerdas. Tidak hanya cerdas sebagai individu yang berkarier, tapi cerdas juga untuk memikirkan karier, keluarga dan dirinya sendiri.

Dalam sidang skripsi, pertanyaan yang diajukan dosen pada saya adalah, nilai apa yang saya ambil dari penelitian yang saya dapatkan. Dengan yakin saya jawab, sebagai perempuan sudah seharusnya cerdas untuk bersikap dan berpikir. Bahwa apa yang mereka lakukan bukan hanya untuk mereka sendiri, tapi ada keluarga, anak-anak, dan diri mereka sebagai perempuan yang harus dia jaga martabatnya.

Perempuan diangggap sebagai tiang dalam mendidik keluarga, di Indonesia stereotipe itu terus berkembang, bahwa mendidik anak adalah tanggung jawan perempuan, bapak hanya mencari nafkah. Budaya ini yang menurut saya tidak baik bagi pertumbuhan anak-anak. Karena menurut hasil psikologi, Ayah justru memiliki pengaruh yang kuat dalam perkembangan anak. Jadi soal urusan mengurus anak menurut saya ya itu team work istri dan suami. So what dengan budaya, kita hidup hari ini, bukan dulu.

Dalam tulisan saya sebelumnya saya mengatakan perempuan harus bekerja apa yang mereka senangi. Saya jadi teringat cerita mba Atiek tentang karier wanita yang stuck di tingkat manajer karena alasannya karena keluarga. Menurutnya, banyak perempuan yang resign dari pekerjaannya dengan alasan ingin mendampingi putra putri mereka meraih masa depan. Dan yang paling saya ingat tanggapan dari mba Atiek adalah, "memikirkan masa depan anak, terus bagaimana dengan masa depan kamu sendiri?"

Saya tergelitik tentang hal ini. Perempuan selalu dihadapkan dengan dilemma sepanjang hidupnya. Pilihan-pilihan sulit tentang perannya dan kewajibannya.Saya mungkin memiliki pemikiran yang sama seperti perempuan pada umumnya yang akan melepas jabatan untuk kepentingan mendampingi anak. Tetapi masukan dari Mba Atiek ya sekali lagi kita harus cerdas sebagai wanita.

Wanita terkadang dibutakan untuk hal-hal yang mengatasnamakan anak. Mereka akan melakukan apa saja untuk kepentingan anak mereka. Pendidikan yang mahal contohnya. Padahal tiap anak berbeda cara mendidiknya. Tidak bisa disama ratakan karena anak-anak memiliki karakter yang berbeda-beda.

Ahhh panjang sekali obrolan tentang perempuan. Dan ini saya jadikan pegangan untuk ke depannya pada diri saya. Saya tetap masih bingung jika dihadapkan tentang pilihan karier dan keluarga. Namun saya yakin, perempuan bisa sukses jika mendapatkan pengertian pasangannya. Itu saja.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar