Long weekend kemarin benar-benar full of story. Bukan drama yang seperti biasanya, tapi lebih banyak kesimpulan-kesimpulan dari perubahan yang sedang terjadi. Obrolan-obrolan yang semakin membuka pikiran dan kesadaran akan pelajaran yang sudah dipetik sebenarnya. Masalahnya apakah kita sudah tahu point-point pelajaran apa yang sudah kita pelajari.
Dimulai dari Idul Adha yang kali ini berbeda dari dua tahun sebelumnya. Dua tahun dulu, saya lebih memilih untuk menghabiskan waktu dengan keluarga dan My Man dulu. Tapi sekarang lebih memilih keluar seharian hang out bersama sahabat untuk mencari sepatu cantik yang murah. Tapi ga dapet sepatunya... Susahnya mencari sepatu yaaa...
Ketika di hari Jumat berdiskusi dengan si Ndut a.k.a Ayu Devtiani dan Rezi, Sabtu-nya saya mengobrol cukup panjang dengan si Mama. Awalnya sih seperti biasa obrolan-obrolan ringan seputar kerjaan dan kejadian sehari-hari, sampai dia menyinggung soal relationship dan berakhir dengan obrolan rumah tangga dan peran wanita.
Selama ini saya yakin, Mama memahami bahwa saya memiliki pemikiran yang cukup modern dibanding dirinya dalam memandang peran perempuan, peran lelaki seharusnya di dalam rumah tangga. Obrolan seperti ini sudah sering saya bicarakan dengan Mama. Kami memang sering mengobrol, di waktu-waktu luang kami, kadang kami bicarakan hal-hal seputar perempuan. Bagaimana ia sampai pada saat ini, ketika ia muda, pemikiran aku tentang pria idaman dan tentang pelajaran-pelajaran hidup sekitar yang baik untuk saya pelajari.
Dalam setiap obrolan kami, saya akhirnya menyadari, Mama selalu menyelipkan pesan-pesan bahwa 'sudah dari sananya, laki-laki lahir untuk dilayani.' Dalam setiap obrolan kami, saya selalu menjelaskan pandangan saya tentang pendamping idaman, dimana menurut saya sudah seharusnya pasangan kita nanti mendukung segala apapun yang kita kerjakan. Bahwa namanya sebuah hubungan itu sebaiknya diisi dengan 'saling' termasuk saling melayani. Mama, si orang tua jaman dulu berkomentar sederhana, "tapi, kalau kamu melayani suamimu dengan baik, dia ga punya alesan untuk selingkuh."
Beliau selalu mendukung saya untuk mandiri dan memiliki karier yang bisa membantu suami. Tapi di sisi lain, dia selalu mengingatkan saya bahwa melayani suami juga akan diganjar dengan pahala yang besar. Dan sebenarnya, Mama tidak perlu khawatir akan itu, dalam dirinya menurut saya, dia sudah memberi contoh bagaimana melayani suami. Namun, mungkin menurutnya, mengingatkan anaknya yang sedang beranjak dewasa dan tua juga termasuk kewajibannya. Dan saya lihat, dia sedikit khawatir dengan pola pikir saya soal kesetaraan perempuan dan laki-laki.
Paling tidak sebagai orang tua, dia merasa wajib untuk memberi nasihat-nasihat tentang perempuan ke anak perempuannya. Karena, dia tidak mendapatkan hal itu dari si Andung, nenek saya. Orang jaman dulu kan begitu, lebih mandiri dari anak-anak jaman sekarang, menikah, keluar rumah, mandiri membangun rumah tangganya. Begitu juga mama. Dia seperti sekarang, baru saya tahu, dia banyak didampingi oleh majalah-majalah wanita yang dia baca pada waktu itu, dia menyebutkan dulu dia langganan Femina, Dewi, dan Kartini. Menurutnya, sebagai istri baru dia harus punya pengetahuan-pengetahuan tentang rumah tangga seperti seks, bagaimana melayani suami, sampai resep masakan. Semua dia pelajari dari majalah.
Lucunya, kami sempat beradu argumen tentang selingkuh. Mama termasuk orang yang setuju kalau laki-laki selingkuh itu wajar, tapi saya tidak. Kenapa semua orang memaklumi ketika pria selingkuh, dan menghujat ketika perempuan selingkuh. Menurut Mama, laki-laki dan perempuan memiliki nilai seperti sekarang itu ya karena pemahaman yang seperti itu terbentuk dari dulu, susah untuk merubah. Mungkin semacam stereotipe kali yaaa... Akhirnya, sama-sama capai berargumentasi, saya hanya tersenyum menyimak apa yang mama sampaikan pada saya.
Saya bukan penganut feminisme, tapi saya setuju dengan beberapa faham feminisme. Mungkin dari segala apa yang saya pikirkan, saya seperti sosok yang meagung-agungkan feminisme, padahal saya tidak. Saya sadar perempuan tidak bisa tanpa laki-laki, dan laki-laki lebih tidak bisa tanpa perempuan. Saya hanya ingin antar gender itu saling menghargai, tidak menilai berdasarkan gender. Karena faham feminisme murni menurut saya cukup mengerikan. Dan membahas sedikit soal melayani suami, menurut saya pribadi, sebuah kesenangan dan kebahagiaan bagi seorang istri untuk dapat memenuhi segala apa yang suaminya inginkan. Itu bukan kewajiban, tapi itu sebuah kesenangan natural yang datang dari hati, bukan sebuah paksaan, NATURAL. Ya semoga sih laki-laki memiliki pemikiran yang sama yaaa....
Intinya, kita punya pengetahuan, kita punya agama, dan kita punya budaya. Berlakulah sesuai dengan nilai-nilai yang kita percaya. Seperti kata pendiri Femina, mungkin banyak majalah asing dari luar, tapi kita punya sesuatu yang spesial, yaitu kita punya budaya Indonesia untuk perempuan Indonesia. Ga ada nyambungnya sih, tapi dari acara Femina tadi, saya menyukai bagian pidato yang itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar