Laman

Rabu, 19 September 2012

Pencitraan

Saya sadar dan yakin bahwa semua orang memiliki persepsinya sendiri. Apakah proses komunikasi itu berlangsung baik atau tidak. Namun yang pasti, persepsi inilah yang merupakan bagian dari pencitraan, hasil pencitraan mungkin. Semua orang menilai saya sebagai sosok yang keras. Entah itu sudah kenal lama atau belum.

Keras ini mungkin tertulis jelas di wajah saya atau bagaimana saya tidak mengerti. Tapi yang pasti saya orang yang puya insting kepada orang-orang yang ada di sekeliling saya. Teman saya, keluarga, pacar mungkin. Inginnya tidak begini, tetapi seringnya apa yang saya pikirkan itulah adanya.

Saya punya pemikiran saya sendiri. Terkadang cara orang menilai apa yang mereka lihat tidak sesuai dengan apa yang mereka tidak tahu. Sekarang masalahnya, saya yang tidak perduli tentang pencitraan, dan saya pikir kebenaran akan terungkap dengan sendirinya, sepertinya kena batunya. After break up sama my man, dan mencoba membicarakan ini baik-baik, saya sadar, sikap keras saya mengenai hal ini dinilai tidak berperasaan. Ingin menyanggah itu semua, tapi apa guna?

Apa ada yang menanyakan hal ini pada saya? Ada yang bertanya sama saya kenapa saya memilih untuk bersikap keras seperti itu? Tidak ada. Kalau sudah begini perlu sekali yang namanya konfirmasi. Pointnya, disini saya malah menjadi pihak yang "menyakiti", nyatanya saya merasa sebagai pihak "tersakiti". Sekarang saya hanya ingin berteriak kepada orang-orang yang menilai saya begitu. Berteriak "Kalian tidak tahu apa yang saya rasa.!!" Seandainya bisa.. :(

Tapi sekarang pun saya tidak tahu harus bagaimana. Bikin press realease? Bikin confrensi pers? Dan membicarakan semua hal yang saya rasa? tentang rahasia-rahasia saya juga? Memang sulit menuntut orang untuk berlaku adil. Semua punya persepsi yang berbeda, semua orang punya cara berpikir yang berbeda, saya tidak mungkin untuk memaksa orang mengerti apa yang saya rasa. Mereka tidak bisa. Mereka tidak mendengar apa yang saya dengar, mereka tidak melihat apa yang saya lihat.

Saya ingin jadi si "annoying:. Ingin sekali, atau ingin sekali menjadi yang menyakiti seperti apa yang mereka bilang. Tapi saya sadar saya tidak punya kemampuan untuk itu. Jadi? Tutup kuping? Membiarkan mereka menjelekkan saya dengan apa yang tidak saya lakukan? Saya hanya harus terus bersyukur...

Kamis, 13 September 2012

Letter To Allenna....

Dear Alllenna, Tante ga sangka, mba tante si Asri itu bisa memproduksi bayi secantik kamu Al. hehehe.. It's really amazing when first i saw you, aku lihat bayi merah di atas perut ibunya, dan mencari-cari puting ibunya.. yaaa...mama mu melakukan inisiasi menyusui dini, apalagi kalau bukan buat kebaikan kamu. Kehadiran kamu mencerahkan keluarga ini Al, kamu harus tahu itu, senyum cerah di wajah opa, oma, om Aji, dan tante, dan tentu kedua orang tuamu. Semua sibuk ketika kamu hadir, menyiapkan apa yang kamu perlukan, apa yang membuatmu nyaman, dan semuanya. Satu yang harus kamu tahu Al, tante sangat bersyukur kamu hadir, Tante selalu berterimakasih sama Allah telah memberi kepercayaan kamu pada orang tuamu. Dan tante yakin, begitu pun papa dan mama mu. Kamu tahu, ketika kamu hadir, tante kehilangan suatu hal yang tante sayangin, tapi tante tidak merasa kesepian, karena tante sadar, tante punya kamu. Kamu memberikan kebahagiaan di tengah kehilangan tante, kamu sinar di kegelapan tante. Karena kamu juga, tante sadar, Allah maha baik sama tante, dia menyadarkan tante, dan memberi cobaan pada tante, tapi karena ada kamu, tante sadar, dia pun memberikan tante kebahagiaan, yaitu kamu. Jadi Allah maha adil buat tante, dan membuat tante selalu bersyukur pada-Nya. Welcoming Al, Tante sayang kamuuu...:* (ini artinya kiss ya Al) :D

Rabu, 12 September 2012

I've Made My Decision

I have to respect my self... Itu kalimat yang saya pikirkan ketika saya mendengar jawaban yang tidak ingin saya dengar. Dan hal itulah yang akhirnya saya pertimbangkan ketika mengambil keputusan ini. Bukan saya yang mengambil keputusan, mungkin saya membantu memberikan pilihan agar tercapai suatu keputusan.

Intinya adalah, it hurts when your relationship is NOTHING for your man. Mungkin terlalu berlebihan, hanya excusenya begini, mungkin ini bukan excuse, tapi ya sudahlan apapun ini disebutnya. Jika memang saya berharga untuk dia, maka dia akan menghargai saya dan waktu yang sudah kita jalani bersama sekian lama.

Saya mencoba sekuat tenaga mengikatkan bahwa ini bukan salah siapa pun, pihak mana pun, ataupun keadaan sekalipun. Ini adalah salah saya dan dia. Kami pikir kami siap, ternyata tidak, kami pikir kami cocok, ternyata tidak. Kami pikir kami kuat, nyatanya pun semu.

Saya mencoba menghargai waktu yang saya jalani, karena saya sadar kata "begitu besar cinta, begitu sempit waktu". Awalnya saya pikir ini semua adalah efek dari pihak-pihak yang tidak mendukung hubungan ini. Namun saya sadar bahwa hubungan ini adalah milik kami, jika memang cinta yang kuat ada di dalamnya, tidak akan ada pihak yang mampu mengganggunya.

Karena itu saya sadar, ini semua adalah kesalahan kami, saya dan pasangan. Bukan pihak-pihak yang tidak mendukung, ataupun keadaaan. Saya percaya, ketika pria sudah menemukan wanita yang dipilihnya, seharusnya dia akan berjuang untuk terus bersama, namun ketika itu semua tidak ia lakukan, jawabannya adalah "dia pikir, kamu tidak cukup baik untuk dia"

Setelah waktu yang hampir 3 tahun kami lewati, dengan kenyataan yang saya dapati seperti itu, jujur, saya sakit, saya merasa dipermainkan oleh orang yang saya percaya adalah laki-laki baik yang pernah saya kenal.
Ketika hubungan ini semakin lama dijalani, ketika saya pikir hubungan ini semakin matang dan mantap, nyatanya yang ada adalah ketidaksiapan dan ketidakyakinan. Kalau sudah begini , lalu apa nilai yang sudah dilewati? Tampaknya kami begitu bahagia selama ini, tampaknya kami begitu percaya selama ini. Saya pikir kita melangkah dengan keyakinan yang sama, tampaknya ada mimpi yang kita susun selama ini. Namun kenyataannya adalah KOSONG.

Cukup mengenaskan ketika mendapati kenyataan bahwa hubungan yang dibina sekian lama sekiranya memiliki tujuan ternyata tidak ada sama sekali. Saya merasa ini bukan orang yang menyatakan cinta pada saya 3 tahun lalu. Bukan dia! Orang yang "nembak" saya dulu tampak sangat dewasa, bijaksana, dan yakin. Namun sekarang, saya harus mendengar ketakutan dan ketidakjelasan, totally different. He's not who is mine.

Saya ingin sekali menyalahkan diri saya, mencari apa kekurangan saya, namun saya sadar, saya harus menghargai diri saya sendiri. Terdengar selfish, tapi tidak! Nyatanya saya lebih berani dari pria yang saya pikir akan menuntun saya ke depannya nanti. Nyatanya dia bahkan tidak tahu harus ambil jalan kanan, kiri, atau lurus dalam perjalanannya. Karenanya, saya memilih jalan saya sendiri, menawarkan padanya, namun dia ketakutan memilih apakah harus berjalan dan melangkah bersama saya.

Saya pun memilih jalan, dan pilihannya saya berjalan sendiri. Saya sadar, nanti, suatu saat dalam perjalanan saya, saya akan berada pada titik terendah hidup saya. Merasa menjadi orang yang paling nelangsa. Namun saya sudah mengambil pilihan, kalau bukan saya yang menghargai diri saya, lalu siapa?
Tentu saya tidak mungkin mengharapkan pria yang bahkan tidak punya tujuan pada saya, untuk menghargai saya. Karena jika memang dia adanya, dengan yakin dia akan menuntun saya kemana pun jalan yang dia yakini baik.

Masa transisi ini sulit. Saya pikir begitu, namun saya harus menghargai orang-orang yang menghargai saya. Teman-teman yang tidak pernah ragu akan diri saya, keluarga yang selalu percaya pada saya.
Sekarang saya sadar, betapa baik orang berkata tentang kita, betapa banyak harta yang kita punya, ketika kita menilai tanpa melihat lebih dekat, apakah bijaksana?? Mungkin orang menilai apa yang mereka lihat, tapi hati tidak bisa dilihat. Lebih bijak dan lebih adil menilai orang, itu pelajarannya. Karena saya sudah tahu rasanya....